BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bagi masyarakat Melayu, khususnya Sambas dan Singkawang
tentu tidak asing lagi dengan budaya saprahan atau makan besaprah. Saprahan
dalam adat istiadat Melayu berasal dari kata saprah yang secara harfiah berarti
berhampar, yaitu budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di
atas lantai secara berkelompok yang tersiri dari enam orang dalam satu
kelompoknya.
Tradisi makan saprahan memiliki makna duduk sama rendah
berdiri sama tinggi ini. Prosesi saprahan begitu kental dengan makna filosofis,
intinya menekankan pentingnya kebersamaan, keramahtamahan, kesetiakawanan
sosial, serta persaudaraan.
Budaya saprahan ini masih banyak ditemui di daerah
pinggiran, terutama pada acara perkawinan tradisional. Para tamu atau undangan
biasanya hadir dengan berbaju telok belanga' atau memakai jas dan sarung.
Mereka duduk bersama sama undangan lain di tarup (tempat khusus undangan yang
berbentuk bangunan memanjang) secara berhadapan memanjang mengikuti arah tarup.
Para pelayan yang membawa saprahan juga memakai pakaian
khusus yang seragam. Mereka akan mengatur hidangan yang dibawa dengan urutan
tertentu: pertama piring dan tempat cuci tangan, kedua nasi, ketiga lauk paku,
dan terakhir air minum/makanan penutup. Dalam mengatur saprahan ini, tamu yang
berada di ujung tarup (biasanya undangan khusus atau mereka yang dihormati)
akan diantar saprahan lebih dahulu, begitu seterusnya hingga tamu yang paling
akhir. Setelah itu barulah pemimpin acara atau tuan rumah mempersilakan para tamu
untuk makan. Setelah acara makan saprahan selesai, biasanya pemimpin tarup (Pak
Lebai) akan membaca doa selawat sebagai tanda bahwa undangan sudah boleh
pulang. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya makan saprahan ini mulai
ditinggalkan karena dianggap terlalu ruwet dan tidak praktis, lantaran untuk
acara saprahan tentu diperlukan banyak piring dan gelas serta tenaga pelayan,
sehingga orang sekarang lebih senang memakai cara prasmanan yang dianggap lebih
praktis.
1.2 Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah – satu tugas Ujian
Akhir Semester ( UAS ) mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar pada khususnya,
serta untuk mengetahui tentang pentingnya pelestarian tradisi di Indonesia,
sebagai contoh tradisi Saprahan di
Sambas.
1.3 Rumusan Masalah
Makalah
tentang “ Tradisi Saprahan di
Sambas
“ , mencakup beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimana peranan tradisi saprahan di Sambas?
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah
ini terdiri dari tiga Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I
: Pendahuluan, yang memuat latar
belakang, tujuan penulisan makalah,
rumusan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Pembahasan, berisikan tentang
BAB
III
: Penutup yang terdiri dari kesimpulan
dan saran.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Saprahan
“Duduk sama rendah berdiri sama tinggi”
Peribahasa ini mengungkapkan makna dari kebiasaan yang satu ini. Saprahan
mungkin masih asing di telinga kita. Saprahan atau makan besaprah adalah budaya
makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai dalam
berkelompok-berkelompok yang terdiri
dari 5-6 orang. Budaya saprahan ini berasal dari masyarakat adat Melayu
khususnya suku Melayu dari daerah Singkawang dan Sambas.
Makan Besaprah ini
menggunakan lima jari artinya ketika memasukan makanan kedalam mulut tidak
menggunakan sendok dan garpu, di acara Makan Besaprah ini lah kebersamaan benar
- benar di terapkan. Sementara untuk membentuk kelompok atau " paduan
" ini biasanya kita bisa mengajak teman dekat atau ada juga bersama orang
- orang yang kita tidak akrab sebelum nya. Untuk hidangan Makan Besaprah ini
sudah tersaji lengkap bersama air minum nya, piring serta air untuk basuh
tangan serta lap tangan. Untuk Makan Besaprah ini setelah menikmati hidangan
biasanya bisa lansung meninggalkan tempat karena untuk hidangan yang sudah di
santap sudah ada yang menangani nya untuk membersihkan nya. Karena " Tamu
adalah Raja " maka tamu yang hadir benar - benar di layani seperti raja.
2.
Nilai Bersaprah
Setidaknya ada empat keistimewaan nilai yang
didapatkan dalam kegiatan makan besaprah ini. Pertama, Kesederhanaan melalui
makan besaprah ini terlihat sebuah kesederhaan yang tercipta, yaitu dengan
duduk secara bersama-sama dilantai dengan lauk dan sayur yang apa adanya.
Setiap orang dengan berbagai latar belakang, kaya atau miskin, muda atau tua,
mempunyai jabatan atau tidak, makan makanan yang sama,tidak ada yang
diistimewakan. Kedua kebersamaan dan kekeluargaan, makan besaprah menjalin
kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting untuk menjaga kita
tetap saling mengenal. Ketiga, Persatuan, Semakin baik kita mengenal sesorang
lain maka hubungan emosional kita dengan orang tersebut akan baik dan akan
berpengaruh pula kepada rasa persatuan dan kesatuan kita. Keempat, Solidaritas,
dengan terjalinnya dan kesatuan dan persatuan rasa solidaritas akan timbul
dengan sendirinya.
Apabila kita melihat kondisi bangsa Indonesia
pada saat ini. Nilai-nilai positif seperti diatas kelihatannya sudah memudar.
Bangsa ini terkesan “egois”. Di daerah perkotaan yang kemudian segera “diserap”
oleh masyarakat pedesaan keegosian sudah menjadi hal yang tidak asing lagi pada
saat ini. Tindakan egois tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan
oleh kebanyakan orang juga terkesan “egois”. Melalui perkataan sering kita
dengar ucapan seperti “masalah buat loe” atau “ emang gue pikirin”. Kita bisa
menemukan fenomena seperti banyak yang mau menolong orang lain kalau dia
mendapatkan imbalan secara langsung, dan sikap tidak acuh kepada orang lain.
Pengaruh teknologi mungkin menjadi alasan
yang cukup kuat untuk mengembangkan rasa “egois” tersebut. Dengan bantuan
teknologi maka padi di sawah tidak perlu dipanen secara gotong royong lagi
karena ada mesin pemanen. Orang merasa tidak
perlu lagi bertanya melalui komunikasi langsung kepada orang lain mengenai
informasi/berita ,karena bisa bertanya langsung dengan “mbah google”(mesin
pencari data dalam internet).
Munculnya isme seperti individualisme,
konsumerisme, narsisme menjadi hasil dari tindakan “main-main” kita dengan rasa
egois tersebut. Alhasil generasi muda
Indonesia mengalami kesulitan untuk memahami arti kesederhanaan, kebersamaan,
dan kekeluargaan yang indah, persahabatan yang tulus, persatuan dan solidaritas
yang kuat.
Untuk mengatasi keegoisan yang semakin hari
semakin kuat tersebut, ada baiknya kita bisa mengambil contoh dari kegiatan
besaprah diatas. Menjadi sederhana dengan tidak membeda-bedakan seorang dengan
yang lain. Menjalin kebersamaan yang erat untuk menumbuhkan perasaan
kekeluargaan didalam masyarakat. Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bentuk
pengamalan kebhineka tunggal ikaan kita, yang sering kita degung-degungkan di
setiap kesempatan yang ada. Dan ketika kesatuan dan persatuan itu terwujud maka
rasa solidaritas akan terbentuk dengan sendirinya.
Akhirnya semoga nilai-nilai baik yang baik dalam kegiatan
“besaparah” kiranya dapat menolong kita untuk dapat memecah keegoisan bangsa
tercinta kita ini.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jika kita simpulkan maka hakikat saprahan mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengatasi keegoisan yang semakin hari
semakin kuat
2. Menjadi sederhana dengan tidak
membeda-bedakan seorang dengan yang lain
3. Menjalin kebersamaan yang erat untuk
menumbuhkan perasaan kekeluargaan didalam masyarakat
Selain itu juga, kesimpulan dari
makalah tentang tradisi saprahan ini untuk menambah kebudayaan
yang ada di Indonesia ini.
3.2
Saran
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus menghargai dan
menghormati antar sesama. Karena kita adalah mahluk sosial yang membutuhkan
orang lain
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar