Rabu, 25 Juni 2014

makalah ISBD



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Bagi masyarakat Melayu, khususnya Sambas dan Singkawang tentu tidak asing lagi dengan budaya saprahan atau makan besaprah. Saprahan dalam adat istiadat Melayu berasal dari kata saprah yang secara harfiah berarti berhampar, yaitu budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai secara berkelompok yang tersiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.
Tradisi makan saprahan memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini. Prosesi saprahan begitu kental dengan makna filosofis, intinya menekankan pentingnya kebersamaan, keramahtamahan, kesetiakawanan sosial, serta persaudaraan.

 
Budaya saprahan ini masih banyak ditemui di daerah pinggiran, terutama pada acara perkawinan tradisional. Para tamu atau undangan biasanya hadir dengan berbaju telok belanga' atau memakai jas dan sarung. Mereka duduk bersama sama undangan lain di tarup (tempat khusus undangan yang berbentuk bangunan memanjang) secara berhadapan memanjang mengikuti arah tarup.
Para pelayan yang membawa saprahan juga memakai pakaian khusus yang seragam. Mereka akan mengatur hidangan yang dibawa dengan urutan tertentu: pertama piring dan tempat cuci tangan, kedua nasi, ketiga lauk paku, dan terakhir air minum/makanan penutup. Dalam mengatur saprahan ini, tamu yang berada di ujung tarup (biasanya undangan khusus atau mereka yang dihormati) akan diantar saprahan lebih dahulu, begitu seterusnya hingga tamu yang paling akhir. Setelah itu barulah pemimpin acara atau tuan rumah mempersilakan para tamu untuk makan. Setelah acara makan saprahan selesai, biasanya pemimpin tarup (Pak Lebai) akan membaca doa selawat sebagai tanda bahwa undangan sudah boleh pulang. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya makan saprahan ini mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu ruwet dan tidak praktis, lantaran untuk acara saprahan tentu diperlukan banyak piring dan gelas serta tenaga pelayan, sehingga orang sekarang lebih senang memakai cara prasmanan yang dianggap lebih praktis.

1.2   Tujuan Penulisan Makalah 
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah – satu tugas Ujian Akhir Semester ( UAS ) mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar pada khususnya, serta untuk mengetahui tentang pentingnya pelestarian tradisi di Indonesia, sebagai contoh tradisi Saprahan di Sambas.

1.3    Rumusan Masalah
Makalah tentang “ Tradisi Saprahan di Sambas “ , mencakup beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana peranan tradisi saprahan di Sambas?

1.4  Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I                       : Pendahuluan, yang memuat latar belakang, tujuan penulisan makalah,  rumusan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II                    : Pembahasan, berisikan tentang
BAB III                 : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
                                                                          








BAB II
PEMBAHASAN
1.      Saprahan
“Duduk sama rendah berdiri sama tinggi” Peribahasa ini mengungkapkan makna dari kebiasaan yang satu ini. Saprahan mungkin masih asing di telinga kita. Saprahan atau makan besaprah adalah budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai dalam berkelompok-berkelompok  yang terdiri dari 5-6 orang. Budaya saprahan ini berasal dari masyarakat adat Melayu khususnya suku Melayu dari daerah Singkawang dan Sambas.
Makan Besaprah ini menggunakan lima jari artinya ketika memasukan makanan kedalam mulut tidak menggunakan sendok dan garpu, di acara Makan Besaprah ini lah kebersamaan benar - benar di terapkan. Sementara untuk membentuk kelompok atau " paduan " ini biasanya kita bisa mengajak teman dekat atau ada juga bersama orang - orang yang kita tidak akrab sebelum nya. Untuk hidangan Makan Besaprah ini sudah tersaji lengkap bersama air minum nya, piring serta air untuk basuh tangan serta lap tangan. Untuk Makan Besaprah ini setelah menikmati hidangan biasanya bisa lansung meninggalkan tempat karena untuk hidangan yang sudah di santap sudah ada yang menangani nya untuk membersihkan nya. Karena " Tamu adalah Raja " maka tamu yang hadir benar - benar di layani seperti raja.       
2.      Nilai Bersaprah
Setidaknya ada empat keistimewaan nilai yang didapatkan dalam kegiatan makan besaprah ini. Pertama, Kesederhanaan melalui makan besaprah ini terlihat sebuah kesederhaan yang tercipta, yaitu dengan duduk secara bersama-sama dilantai dengan lauk dan sayur yang apa adanya. Setiap orang dengan berbagai latar belakang, kaya atau miskin, muda atau tua, mempunyai jabatan atau tidak, makan makanan yang sama,tidak ada yang diistimewakan. Kedua kebersamaan dan kekeluargaan, makan besaprah menjalin kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting untuk menjaga kita tetap saling mengenal. Ketiga, Persatuan, Semakin baik kita mengenal sesorang lain maka hubungan emosional kita dengan orang tersebut akan baik dan akan berpengaruh pula kepada rasa persatuan dan kesatuan kita. Keempat, Solidaritas, dengan terjalinnya dan kesatuan dan persatuan rasa solidaritas akan timbul dengan sendirinya.
Apabila kita melihat kondisi bangsa Indonesia pada saat ini. Nilai-nilai positif seperti diatas kelihatannya sudah memudar. Bangsa ini terkesan “egois”. Di daerah perkotaan yang kemudian segera “diserap” oleh masyarakat pedesaan keegosian sudah menjadi hal yang tidak asing lagi pada saat ini. Tindakan egois tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh kebanyakan orang juga terkesan “egois”. Melalui perkataan sering kita dengar ucapan seperti “masalah buat loe” atau “ emang gue pikirin”. Kita bisa menemukan fenomena seperti banyak yang mau menolong orang lain kalau dia mendapatkan imbalan secara langsung, dan sikap tidak acuh kepada orang lain.
Pengaruh teknologi mungkin menjadi alasan yang cukup kuat untuk mengembangkan rasa “egois” tersebut. Dengan bantuan teknologi maka padi di sawah tidak perlu dipanen secara gotong royong lagi karena ada mesin pemanen. Orang merasa  tidak perlu lagi bertanya melalui komunikasi langsung kepada orang lain mengenai informasi/berita ,karena bisa bertanya langsung dengan “mbah google”(mesin pencari data dalam internet).
Munculnya isme seperti individualisme, konsumerisme, narsisme menjadi hasil dari tindakan “main-main” kita dengan rasa egois tersebut. Alhasil  generasi muda Indonesia mengalami kesulitan untuk memahami arti kesederhanaan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang indah, persahabatan yang tulus, persatuan dan solidaritas yang kuat.
Untuk mengatasi keegoisan yang semakin hari semakin kuat tersebut, ada baiknya kita bisa mengambil contoh dari kegiatan besaprah diatas. Menjadi sederhana dengan tidak membeda-bedakan seorang dengan yang lain. Menjalin kebersamaan yang erat untuk menumbuhkan perasaan kekeluargaan didalam masyarakat. Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bentuk pengamalan kebhineka tunggal ikaan kita, yang sering kita degung-degungkan di setiap kesempatan yang ada. Dan ketika kesatuan dan persatuan itu terwujud maka rasa solidaritas akan terbentuk dengan sendirinya.
Akhirnya semoga  nilai-nilai baik yang baik dalam kegiatan “besaparah” kiranya dapat menolong kita untuk dapat memecah keegoisan bangsa tercinta kita ini.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Jika kita simpulkan maka hakikat saprahan mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengatasi keegoisan yang semakin hari semakin kuat
2.      Menjadi sederhana dengan tidak membeda-bedakan seorang dengan yang lain
3.      Menjalin kebersamaan yang erat untuk menumbuhkan perasaan kekeluargaan didalam masyarakat
Selain itu juga, kesimpulan dari makalah tentang tradisi saprahan ini untuk menambah kebudayaan yang ada di Indonesia ini.

3.2     Saran
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus menghargai dan menghormati antar sesama. Karena kita adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain






DAFTAR PUSTAKA
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar