BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kami
membuat makalah ini karena kami ingin mendalami materi SUPERSEMAR yang
berkaitan pada kondisi Indonesia pada Era tahun 1965 dimana terdapat
banyak masalah berat yang melanda dari berbagai bidang yang bersifat
vital bagi Bangsa Indonesia.Pada bidang politik,sistem pemerintahan
demokrasi terpimpin yang diterapkan Ir.Sukarno seperti membuat suatu
pemerintahan yang otoriter di Indonesia.Selain itu,bung karno membuat
konsep NASAKOM yang berarti nasionalis,agama dan komunis.Kebijakan
itulah yang akhirnya membawa perpecahan karena dalam nasionalis,agama
dan komunis terdapat perbedaan-perbedaan yang bisa memicu konflik di
kemudian hari. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin juga menyebabkan
pihak yang bisa mempunyai posisi kuat di pemerintahan bisa mempunyai
kekuatan yang luar biasa.
Pada
bidang militer,dwifungsi ABRI yang membuat anggota ABRI bisa menduduki
jabatan di bidang politik dan pemerintahan membuat peran ABRI menjadi
tidak lazim karena tentara tujuan sebenarnya dibentuk untuk keperluan
pertahanan negara.Selain itu,konfrontasi Indonesia-Malaysia yang terjadi
pada masa itu membuat pro dan kontra pada pemerintah dari sejumlah
tokoh militer.Dan pada bidang ekonomi Indonesia mengalami inflasi yang
mencapai presentase 650 % membuat harga-harga bahan-bahan pokok
melambung tinggi sebagai akibat dari berbagai faktor yang diantaranya
kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji tentara.
Akhirnya
klimaks dari berbagai masalah diatas terjadi pada akhir tahun 1965
yaitu sebuah peristiwa kontroversial yang melibatkan Partai Komunis
Indonesia bernama Gerakan 30 September dan Gerakan Satu Oktober yang
lebih dikenal dengan G 30 S/PKI.Hal itu,membuat Indonesia kacau balau
karena terjadi pembunuhan para jendral-jendral penting ABRI sehingga
akhirnya ABRI dibawah Jendral Suharto dan Kolonel Sarwo Edhie dari
KOSTRAD berhasil menghentikanya.Setelah peristiwa itu,maka terjadilah
reaksi dari masyarakat berupa Tritura yang berisi Tiga Tuntutan Rakyat
pada Pemerintah Republik Indonesia.Untuk menjaga kestabilan dari
Republik Indonesia maka dikeluarkanlah Surat Perintah pada tanggal 11
Maret 1966.
1.2 Rumusan Masalah
1.Siapa saja tokoh yang berperan penting dalam terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966?
2.Bagaimana keadaan Indonesia setelah terbitnya Supersemar?
3.Mengapa terjadi kontroversi dalam naskah Superesemar?
1.3 Tujuan
Kami membuat makalah ini dengan tujuan ingin mengetahui bagaimana proses penerbitan Supersemar dan penyebab kontroversinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Supersemar
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Dalam
membuat tugas sejarah tentang Supersemar,Kami mendapat versi yang
berbeda dari setiap sumber yang telah kami ambil datanya untuk itu kami
akan membahasnya satu persatu.
2.2 Supersemar Versi Satu
Surat
Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas
Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI
dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala
adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1.
Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan
djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto
(yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat
itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani
yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend)
Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
(Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet
dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab
dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.
Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara
tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang
terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto
mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat
tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk
mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan
Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar
yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat
untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966
pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas
Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto,
Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta
agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu
juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh
Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono
mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba.
2.3 Supersemar Versi Kedua
Versi
resmi mengenai lahirnya Supersemar adalah sebagai berikut. Menjelang
akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa G-30-S boleh
dikatakan sudah selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa
tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum
dibubarkan. Sementara krisis ekonomi tambah parah. Laju inflasi mencapai
650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi, uang
bernilai Rp 1.000 turun menjadi Rp 1. Sementara itu harga-harga
membubung naik. Tak ayal lagi, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan
pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) marak di mana-mana. Selama 60 hari, dengan dipelopori para mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibu kota
dipenuhi demonstran. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),
yang isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Sementara
itu, sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, terjadi
perbedaan pendapat antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto
yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan
pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang semakin
memuncak setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa
pergolakan rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan.
Sementara itu Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI
karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah
dicanangkan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam
pertemuan-pertemuan berikutnya di antara keduanya. Soeharto kemudian
menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak
dari presiden.
Pada
tanggal 11 Maret 1966, Kabinet (yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri"
karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna
untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang diboikot, para
mahasiswa melakukan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke
istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa
(Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan
tak dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud
bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir,
pergi dengan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri
Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh.
Setelah
itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan
Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir
Machmud, dengan seizin atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat
Menpangad merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di
Bogor. Di sana
ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi
ketiga Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J.
Leimena. Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar
cara-cara yang tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan
presiden.
Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah
yang ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi
wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan
keamanan negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden,
dan melaporkan kepada Presiden. Jadi, Soeharto diberi kewenangan untuk
mengambil semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan dan
memulihkan kewibawaan presiden. Teks surat
dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama ketiga perwira
tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagai
sekretaris. Surat
itu kemudian ditandatangani oleh presiden. Serah terima secara resmi
Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD kepada
Soeharto dilaksanakan pada tanggal 11 Maret itu juga, sekira pukul 21.00
WIB, bertempat di markas Kostrad. Surat inilah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia
terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang
dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari
Tritura, sudah dilaksanakan. Popularitas Soeharto pun meningkat.
Ternyata setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan Presiden Soekarno
tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan
nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban
Supersemar yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.
Soeharto
kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok
memulihkan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik
kepemimpinan tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal
Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66. Demikianlah riwayat
singkat Supersemar.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2.
Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat
untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1.
Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan
djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris
M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan
melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
SOEKARNO
Kekacauan
pasca G30S berlanjut pada penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret
(1966) kepada Soeharto oleh Soekarno. Setelah penyerahan ini, Soekarno
masih sebagai Presiden tituler sehingga terjadi kepemimpinan ganda di
negeri kita pada saat itu. Soeharto baru dilantik menjadi Presiden 2
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1968.
2.4 Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
- Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
- Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
- Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
- Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
- Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
- Versi Resmi:
Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor,
pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD
dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga
perwira tersebut menyatakan bahwa Soeharto mampu menendalikan situasi
dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat
kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30
malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
- Kesaksian Lettu Sukardjo Wilardjito(pengawal kepresidenan Istana Bogor):
Brigjen
M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen
M.Panggabean pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 datang ke
Istana Bogor. Ia menuturkan adanya penodongkan pistol ke arah Soekarno
yang dimaksudkan untuk memaksa agar Presiden menandatangani sebuah surat.
Lalu Sukardjo membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun
Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan
menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat
itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau
situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan.
M. Jusuf , M.Panggabean, dan A.M. Hanafi membantah peristiwa itu.
- Kesaksian A.M. Hanafi (mantan dubes Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto) :
Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Waperdam Chaerul Saleh. M.Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir. Namun ia sependapat dengan versi resmi yaitu bahwa ketiga jendral itulah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Ketiga jendral ini datang baik-baik dengan membawa sebuah teks. Di luar, istana sudah dikelilingi oleh banyak demonstrasi dan tank. Karena keadaan tersebut, Soekarno akhirnya menandatangani teks Supersemar itu. - Keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah asli Supersemar ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, terutama menyangkut tiga hal, masih belum menemukan titik terang.
Ketiga hal itu adalah pertama, mengenai teks. Kedua, terkait proses mendapatkan surat itu. Ketiga, mengenai interpretasi isi perintah itu.
Naskah asli Supersemar sendiri hingga sekarang belum ditemukan. Keluarnya surat
itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi
sebelumnya. Presiden Soekarno memiliki penafsiran berbeda dengan
kelompok Soeharto.
Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya mengenai tempat penandatanganan—apakah Jakarta atau Bogor—tidak mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu—satu atau dua halaman—itu hanya soal teknis.
Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi. Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo (distensil).
Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu Kota. Dengan demikian, surat
itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik ulang.
Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung
Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan.
Ketika
biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia meninggal, masyarakat
berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang dilampirkan
bukanlah yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip Nasional,
karena logo yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang
kepresidenan adalah padi kapas.
Minimal kita berharap, draf pertama surat
itu, draf kedua yang sudah ditulisi komentar Soebandrio beserta
tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani Presiden) yang
semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat diserahkan kepada pemerintah.
Di bawah tekanan
Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukan atas kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini.
Tanggal
9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat
dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen Alamsjah Ratu
Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan
kekuasaan kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat
perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto
yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno
dan Men/Pangad.
Hasjim Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor.
Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Bung Karno menolak. Dengan
amarah, Bung Karno berkata, ”Kamu juga sudah pro-Soeharto!”
Dari
sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, lalu
diikuti dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11 Maret
1966 dilangsungkan sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh
demonstrasi mahasiswa besar-besaran serta didukung pasukan tertentu. Hal
itu mengagetkan Presiden yang memutuskan untuk menyingkir ke Istana
Bogor.
Brigjen
Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan
RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap
Soebandrio yang berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan
itu mencopot identitas mereka sehingga tak mengherankan Komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai ”pasukan tidak dikenal”
kepada Bung Karno. Letjen Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang
kabinet dengan alasan sakit. Bila dia ada, tentu Bung Karno akan
memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi gabungan
mahasiswa-tentara itu.
Sebetulnya
banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya
menjadikan semacam ”tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Dan, puncak
dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada
demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung
Istana, tentu peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum
terjadi.
Tafsir berlawanan
Bagi Presiden Soekarno, surat
itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden
dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia ”kecolongan” dengan membubuhkan
frase ”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” dalam surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.
Menurut Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
Dengan
surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966,
membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan
Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal
kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan
Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto ini tidak lain mengakhiri
dualisme kekuasaan yang telah terjadi pasca-Gerakan 30 September.
Dualisme
kekuasaan itu tampak jelas dalam kasus penghentian rencana
nasionalisasi perusahaan asing akhir 1965. Tanggal 15 Desember 1965,
dengan naik helikopter Soeharto menuju Istana Cipanas tempat pertemuan
yang dipimpin Waperdam Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan
Caltex. Soeharto turun dari helikopter dan berseru, ”AD tidak setuju
nasionalisasi Caltex”. Lalu, ia langsung meninggalkan tempat dan kembali
ke Jakarta.
Peristiwa dramatis itu sungguh menunjukkan adanya dua pimpinan nasional
saat itu karena dalam kasus ini jelas Soeharto tidak bertindak atas
perintah Presiden Soekarno.
2.5 Perkembangan Terbaru Seputar Kontroversi Supersemar
Pengamat
teknologi informasi Roy Suryo Notodiprodjo menyatakan, naskah Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang selama ini beredar merupakan
naskah palsu. Hal itu, kata dia, terbukti dari hasil penelitian bentuk
tandatangan, cara penulisan dan spasi dalam tiga naskah Supersemar yang
selama ini beredar dengan naskah yang dibawa para jenderal saat keluar
dari Istana Bogor usai menghadap Presiden Sukarno.
“(Pada keempat naskah tersebut) Terlihat jelas perbedaan pada bentuk tandatangan Presiden Soekarno, tata-cara atau justifikasi penulisan, spasi atau jarak antar kalimat dan berbagai hal lainnya,” katanya usai sebuah acara di Menara BTC Bandung, Sabtu (19/1).
Untuk memperkuat pernyataannya itu, Roy sempat menunjukkan empat file berisi potret salinan keempat naskah tersebut, yakni tiga file naskah Supersemar yang, menurutnya, selama ini beredar namun tidak diketahui sumber yang mengedarkannya serta satu file potret potongan naskah Supersemar yang dibawa para jenderal diambil dari film-selluloid milik Arsip Nasional Rrepublik Indonesia (ANRI).
Dari pengamatan Tempo, pada empat file naskah tersebut memang ada perbedaan cukup jelas pada pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, spasi, serta kop surat yang digunakan.
“Tipikal film, resolusi foto naskah Supersemar dalam film-selluloid milik ANRI itu sama dengan tipikal film, resolusi foto Pak Amir Machmud atau Pak Harto yang dikeluarkan pada waktu itu (tahun 1966),”katanya.
Roy mengakui kecurigaan atas ketidakaslian naskah yang beredar memang bukan baru. Namun selama ini belum ada pihak yang bisa mengungkapkan kecurigaan tersebut secara ilmiah disertai bukti-bukti pendukungnya. “Ini (hasil temuannya) adalah bukti ilmiah yang tidak terbantahkan, karena sumber dan dokumennya jelas,”katanya.
Roy meyakini, naskah Supersemar yang asli adalah naskah yang dibawa para jenderal seperti tampak dalam film-selluloid milik ANRI. “Nah naskah yang sempat ter-shoot dan terdapat dalam film-selluloid milik ANRI inilah yang seharusnya dicari, bukan naskah Super-lainnya, SuperBagong, Gareng atau Petruk, yang kemudian “dipaksakan” menjadi Supersemar,” katanya.
Masalahnya, kata Roy Suryo, di mana naskah asli Supersemar sekarang? "Mungkin hanya “Sang Semar” yang kini sedang terbaring sakit-lah satu-satunya yang mengetahui,” katanya.
“(Pada keempat naskah tersebut) Terlihat jelas perbedaan pada bentuk tandatangan Presiden Soekarno, tata-cara atau justifikasi penulisan, spasi atau jarak antar kalimat dan berbagai hal lainnya,” katanya usai sebuah acara di Menara BTC Bandung, Sabtu (19/1).
Untuk memperkuat pernyataannya itu, Roy sempat menunjukkan empat file berisi potret salinan keempat naskah tersebut, yakni tiga file naskah Supersemar yang, menurutnya, selama ini beredar namun tidak diketahui sumber yang mengedarkannya serta satu file potret potongan naskah Supersemar yang dibawa para jenderal diambil dari film-selluloid milik Arsip Nasional Rrepublik Indonesia (ANRI).
Dari pengamatan Tempo, pada empat file naskah tersebut memang ada perbedaan cukup jelas pada pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, spasi, serta kop surat yang digunakan.
“Tipikal film, resolusi foto naskah Supersemar dalam film-selluloid milik ANRI itu sama dengan tipikal film, resolusi foto Pak Amir Machmud atau Pak Harto yang dikeluarkan pada waktu itu (tahun 1966),”katanya.
Roy mengakui kecurigaan atas ketidakaslian naskah yang beredar memang bukan baru. Namun selama ini belum ada pihak yang bisa mengungkapkan kecurigaan tersebut secara ilmiah disertai bukti-bukti pendukungnya. “Ini (hasil temuannya) adalah bukti ilmiah yang tidak terbantahkan, karena sumber dan dokumennya jelas,”katanya.
Roy meyakini, naskah Supersemar yang asli adalah naskah yang dibawa para jenderal seperti tampak dalam film-selluloid milik ANRI. “Nah naskah yang sempat ter-shoot dan terdapat dalam film-selluloid milik ANRI inilah yang seharusnya dicari, bukan naskah Super-lainnya, SuperBagong, Gareng atau Petruk, yang kemudian “dipaksakan” menjadi Supersemar,” katanya.
Masalahnya, kata Roy Suryo, di mana naskah asli Supersemar sekarang? "Mungkin hanya “Sang Semar” yang kini sedang terbaring sakit-lah satu-satunya yang mengetahui,” katanya.
Sampai
meninggal pada Minggu, 27 Januari 2008, mantan presiden Soeharto masih
meninggalkan kontroversi. Selain masalah status hukum atas dugaan
korupsi, yang belum tuntas hingga di bawa mati banyak alur sejarah yang
ditorehkan orde baru masih belum jelas.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, lembaga ini berkali-kali meminta kepada Jendral (purn) M. Jusuf saksi terakhir hingga akhir hayatnya ( 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, M. Saelan, bahkan meminta DPR
untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu
tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden
Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada tanggal27 Januari 2008 membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Versi manakah yang benar? Apakah Soekarno memang membuat Supersemar atas kehendaknya sendiri? Atau ia diminta menandatangani surat
yang telah dibuat sebelumnya? Atau bahkan ia ada di bawah ancaman
pistol? Apakah teks Supersemar ini asli? Banyak pertanyaan yang masih
harus dijawab seputar Supersemar ini.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau yang disingkat menjadi Supersemar
sebenarnya adalah surat kuasa dari Presiden Sukarno kepada Jenderal
Suharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara Indonesia
setelah terjadi pemberontakan oleh Gerakan 30 September 1965/PKI namun
karena kesalahan penafsiran dalam menyikapi Supermar maka terjadi
perbedaan pendapat yang menimbulkan kontroversi dikemudian hari.
Perbedaan
penafsiran berpangkal dari kalimat dalam Supersemar yang berbunyi
“mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”.Padahal,perintah untuk
militer harus tegas batas-batasnya,termasuk waktu pelaksanaanya.
3.2 Saran
Hendaknya dalam pengambilan keputusan untuk mengeluarkan surat kuasa harus menelitinya lebih lanjut agar tidak terjadi salah penafsiran.
DAFTAR PUSTAKA
Id.Wikipedia.org
http://poenjagw.blogspot.com/2009/05/supersemar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar